Monday, June 1, 2015

HUKUM BERHUJJAH DENGAN HADITS DHOIF / LEMAH


BAGAIMANA BERHUJJAH DENGAN HADIS DHAIF


Perlu diketahui, bahwa hadits dhoif adalah kebalikan dari hadits hasan, yaitu hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. Dan salah satu fakta yang terjadi di kalangan masyarakat adalah pengamalan hadits dhoif dilakukan tanpa pilah-pilih terlebih dahulu.

Jadi, apakah boleh berhujjah dengan hadits dhoif?

Perlu diketahui adalah berhujjah dengan hadits dhoif adalah dibenarkan, akan tetapi ada syarat-syarat hadits dhoif tersebut bisa diamalkan.

Berhujjah dengan hadits dhoif adalah dibenarkan tetapi mempunyai syarat-syarat dalam pengamalannya, yaitu:

=>Tidak boleh mengamalkan, jika masalah yang dihadapi adalah aqidah.
=>Juga tidak boleh mengambil hukum jika dalil/dasarnya adalah hadits dhoif.
=>Permasalahan yang dibicarakan dalam hadits, masih berada di dalam kawasan prinsip dasar umum atau menjadi cabang tersendiri.
=>Ketika mengamalkan hadits dhoif tersebut, tidak meyakini/merubah bahwa hadits tersebut shahih.
=>Dan ketika menyampaikan di dalam suatu majlis, maka si penyampai harus menyebutkan kedhoif-an/kelemahan hadits tersebut.

Sebagai Contoh hadits dhoif di bawah ini :

مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri.”

Hadits ini lemah dikategorikan ke dalam hadits dhoif / hadits lemah.

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitabnya adh-Dhu’afaa’ Wa al-Majruuhiin (I:283) melalui jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Layts bin Sa’d, dari ‘Uqail, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara Marfu’.

Ibnu al-Jawzi juga mengemukakan hadits ini di dalam kitabnya al-Mawdhuu’aat (III:69), ia berkata, “Tidak SHAHIH, Khalid seorang pembohong. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Lahii’ah yang mengambilnya dari Khalid lalu menisbatkannya kepada al-Layts.

Imam as-Suyuthi di dalam al-La’aali (II:150) berkata, “al-Hakim dan periwayat lainnya mengatakan, Khalid hanya menyisipkan nama al-Layts dari hadits Ibn Lahii’ah.”

Kemudian as-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibn Lahii’ah, terkadang ia berkata, “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.” Terkadang ia berkata, “Dari Ibn Syihab (az-Zuhri-red), dari Anas secara marfu’.

Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Ia juga meriwayatkan dari jalur lain: dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam al-Kaamil (I:211); as-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi mengeluarkannya dari jalur Marwan, yang berkata, “Aku bertanya kepada al-Layts bin Sa’d – karena au pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, ‘Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibn Lahii’a telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..[Marwan kemudian menyebutkan teks hadits di atas]. Maka al-Layts menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!” 

Kemudian Ibn ‘Ad juga meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar, ia berkata, ‘Ibn Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.’

Jadi, kesimpulannya ada di antara sanad hadits yang marfu’ (tertolak) sehingga hadits ini dikategorikan dhoif (lemah). Dan apakah boleh mengamalkan hadits di atas? Tentu saja boleh.

والله اعلم

No comments:

Post a Comment

Advertisement
Advertisement